Perawakan kerempeng dengan gaya rambut urak-uarakan mendekat digardu BTN pagutan tempat tim KM Mallbao berteduh, senin (12/9). Gaya ganas, dengan balutan baju cukup kumel sambil mengacungkan sebatang rokok bermerek gudang garam surya. Ia tegas berucap “pinjam koreknya”. Saya pun memberi. Lalu ia menyulutkan api ke rokok tersebut sambil mengisap, mengempuskan asap rokoknya. Dalam benak terlintas penasaran saya sebagai tim KM Mallbao cari cara menggeretnya berlam-lama menggali informasi. Saya coba tanya, masih sekolah dik?. melihat dari komposisi kaos oblong dan celana sekolah SD warna merah yang dikenakan, saya menerka. “Tidak udah berenti”, ucapnya gesit. Saya pun tidak kalah cepat menahannya dengan cercaan pertanyaan, berharap ia mau memberi sedikit informasi atas kondisi langka yang terjadi untuk anak seusia dia, yang semestinya sibuk mengerjakan tugas sekolah, bermain dengan teman sekolah atau paling tidak membantu orang tua dirumah setelah pulang sekolah. Dan tentunya jauh dari hal-hal yang berbau merusak seperti rokok dll. Namun, ia mengaku ia sudah berhenti bersekolah sejak naik kelas 5 di salah satu SDN yang ada di jempong. Memilih jadi pencari barang bekas/rongsokan “jadi pemulung” diakui dilakukan dengan riang. Wajar, dengan seusia mereka beban akan terpaan kompleksnya permasalah hidup masih tidak terasa.
Rizki (10 tahun), yudi (9 tahun), dan andi (10 tahun) mereka saling tunjuk menyebut namanya. Meski sempat ia dan beberapa temannya mendelik dengan sebutan-sebutan nama samaran, ketika tim KM Mallbao meminta keterangan nama aslinya. Ada yang mengatakan diri sebagai julukan banteng liar, banteng bangak dan kuda bodoh. Mereka pun menunjukan sikap sumeringah layaknya anak-anak yang haus dengan main-main, saling ejek, saling tendang dan pukul-pukulan, hal biasa dipertontonkan. Lalu sesekali mereka berbagi, bergiliran menghisap batang rokok surya tersebut.
Saya hanya bisa tercengan, lalu menanyakan dari mana mereka mendapatkan rokok tersebut dan apakah tindankan mereka tersebut tidak dimarahi orang tua atau orang-orang yang ada dilingkungan sekitarnya. Enteng, mereka menjawab dari hasil jualan barang-barang bekas dan rizki pun nyeletuk bisa didapatkan juga dari hasil nyolong barang-barang orang yang ada diseputaran perumahan yang kebetulan penghuninya keasikan tidur siang atau lagi tidak ada dirumah.
Kepolosan mereka pun tergerus ketika tim KM Mallbao menanyakan kenapa tidak sekolah, dan kalau ada pihak sekolah yang mau membantu atau mencari untuk menyekolahkan?. Mereka hanya berucap “malas. Kerjaannya hanya menulis, menulis dan menulis”. Kalau memulung ini mereka mengaku bisa mengumpulkan puluhan ribu rupiah perhari dengan kisaran setandar 30.000-an.
Selang beberapa menit anak usia remaja menghampiri dan berusaha membuat mereka gusar, wajah sedikit ketakutan terbersit dari sikap mereka yang buru-buru pergi. Lalu saya pun berkesempatan mencari tau persoalanya dari pemuda yang mengaku namanya Deni tersebtu. Ia memponis anak-anak itu bandel dengan sedikit mengungkap kegelisahannya akan masa depan mereka yang susah diatur. Bahkan ia menyebutkan tingkat kejenuhan orang tua mereka dalam hal memperingatinya. Tapi lagi-lagi deni mengungkapkan “semua itu sebenarnya bisa dilawan, jika benar-benar pihak sekolah mau menerima keberadaan mereka secara pelan-pelan tanpa harus menekan orang tua mereka untuk menandatangani perjanjian ya, mungkin keputusan rapat untuk memecat atau apalah”. Tim mencari tahu, memang orang tuanya pendatang atau penduduk asli sih?. Asli jempong dan rata-rata penghidupan keluarganya serba kekurangan, jawabnya singkat. [JA]