KM.Mellbao: Saya mengikuti dengan cermat pemberitaan terkait
tewasnya lima tersangka teroeris dalam aksi penggerebekan yang dilakukan Detasmen
Khusus (Densus) 88 anti terror Polri, di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat awal
bulan lalu. Sejauh ini perkembangan pemberitaan terkait hal itu memperlihatkan
adanya pro dan kontra yang muncul di masyarakat.
Di satu sisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menilai, dalam pemberantasan terorisme, khususnya pada jaringan Poso, Densus 88
anti teror Polri telah melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk penembakan mati
tersangka teroris secara tidak prosedural. Di NTB senndiri, muncul aksi elemen
masyarakat yang menyatakan, aparat salah tembak terhadap dua dari lima tersangka
teroris yang ditembak di Dompu.
Sebaliknya, pihak polri myatakan dalam menghadapi kelompok
terorisme, mereka berhadapan dengan kelompok yang memiliki senjata api dan
bahan peledak. Dalam beberapa upaya
pemberantasan terorisme ada juga sejumlah polisi yang meninggal . hal ini
terjadi di Dompu. Menurut Kapolda, penembakan terjadi karena para tersangka
melawan terjadi kontak senjata antara aparat dan para tersangka yang salah
seorangnya memakai jaket bom.
Dua
Pendekatan
Saya mendengar dan sepenuhnya memahami perdebatan yang terjadi. Apa yang dikemukan
dua pihak merupakan konsekuensi logis dari pendekatan pemberantasan terorisme. Pihak Komnas HAM
mengambil soft power dengan strategi
utama deradikalisasi. Sedangkan Densus Polri menaklukan pendekatan hard power dengan posisi ‘perang‘ terhadap terorisme (war against terrorism).
Sebagai penjaga nilai-nilai kemanusiaan, komnas HAM terikat
kewajiban agar tidak ada hak-hak kemanusiaan yang terlanggar dalam
pemberantasan terorisme. Berbasis sikap ini, memang terdapat tedensi bagi
komnas HAM untuk menentang penggunaan cara-cara kekerasan (koersif) dan ofensif
dalam upaya menangkal terorisme. Terorisme adalah juga manusia yang kesalahan
satu-satunya adalah tata nilai yang dianut dan diyakininya.
Di bawah fungsi utama sebagai pejaga keamanan
masyarakat, Polri menyandang beban untuk membebaskan masyarakat dari rasa tidak
aman akibat aksi-aksi kekerasan yang dilakukan para pelaku terorisme. Terorisme
adalah pihak pemicu keresahan masyarakat yang karenanya harus dibasmi. Dan,
karena yang dihadapinya adalah kelompok yang ‘menghalakan’ kekerasan untuk
mencapai tujuan, maka sikap tegas dan keras dianggap diperlukan.
Kedua pendekatan ini, harus diakui, bukan tanpa
kelemahan. Mengutip pandangan kepala pusat studi keamanan dan perdamaian UGM
Drs Muladi Sugiono MA, war against
terrorism adalah salah memahami aksi
pemberantasan terorisme semata-mata sebagai tindakan ‘perang’ , karena yang
dihadapi adalah warga Negara kita sendiri. Sedangkan deradikalisasi mengabaikan
realitas terorisme sebagai hak kompleks dengan mereduksi sebab kemunculan
semata karena pemahaman nilai yang salah.
Saya sendiri berpendapat, dua pendekatan yang diambil
dua institusi yang berbeda ini tidaklah layak untuk dipertentangkan, melainkan
masing-masing berfungsi sebagai perangkat komplemen bagi pihak lainnya. Untuk
jangka pendek, langkah yang diambil Densus 88 anti terror Polri bisa dinilai
perlu dipotong perkembangan jaringan terorisme. Namun kritik, komnas HAM juga
diperlukan agar aksi-aksi Polri tetap berada dalam koridor hukum dan HAM
berdasarkan prinsip kehatia-hatian.
Dalam beberapa kesempatan, saya sudah menyampaikan pentingnya
masyarakat NTB membangun semangat menjaga daerah dengan sebuah gerakan kultural.
Masyarakat harus menyadari bahwa masalah-masalah mereka, termasuk masalah
keamanan, tidak bisa doserahkan kepada aparat diluar masyarakat, misalnya TNI
atau polri.
Saya mendukung upaya polri memberantas terorisme di NTB.
namun dalam beberapa kesempatan saya juga menyerukan perlu adanya gerakan
secara kultural untuk mengantisipasi terorisme di wilayah NTB. terorisme
merupakan gerakan yang terbangun dalam diri masyarakat sendiri. Karenanya,
setiap strategi pemberantasan terorisme harus berasal dari dalam diri
masyarakat dengan cara membangun sebuah ‘benteng Kultural.
Belajar dari kasus tertembaknya lima orang tersangka
teroris di Dompu, paling tidak ada dua fungsi bangunan benteng kultural ini. Pertama, sebagai upaya menahan
infiltrasi ‘orang asing’ di luar komunitas masyarakat yang memiliki nilai kultural
berbeda dengan warga kebanyakan (tidak semua tertembak adalah warga NTB ). Kedua, sebagai wahana mengukuhkan
ketahanan nilai-nilai lokal yang mampu memfilter nilai-nilai dari luar yang pro kekerasan.
Kearifan
Lokal
Membentuk ‘ benteng’ Kultural bisa dilakuan lewat cara
reaktualisasi, reformasi, dan reinternalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang
selama ini tumbuh dalam masyarakat. Tiga, etnis besar di NTB, yaitu etnis
Samawa yang tinggal di bagian daerah Sumbawa bagian Barat, etnis Mbojo dari
pulau Sumbawa Timur (Dompu dan Bima), dan etnis Sasak penghuni pulau Lombok
memiliki kerarifan-kearifan lokal semacam itu.
Lihatlah lawas (ungkapan) Samawa terkait toleransi misal,
“Mana tau sabarang kayu” (walau siapapun itu), “Lamin to sanyaman ate” (jika
mampu menyamankan hati), “Ba nan si
sanak parana” (maka itu adalah saudaramu). Sedangkan etnis Mbojo dan Bima dan Dompu
memiliki budaya Manja Labo Dahu atau
malu dan takut. Malu jika menalukan perbuatan tercela, seperti menyakiti orang
lain, dan takut jika perbuatannya itu tidak disukai Tuhan.
Banyak juga ungkpan kebijakan lokal suku Sasak yang menjungjung
tinggi kebersamaan hidup serta nilai gotong-royong yang tidak membuka pintu
bagi ekskluisivitas. Hal ini antara kain tercermin dari ungkapan suku sasak,
“sorong juluk lek segare, bareng onyak bareng lenge” (mendorong perahu ke laut,
baik dan buruk bersama-sama). Perselisihan bukan bukti yang utama karena “sifat
anak enpaq, tao pesopok diriq” (sifat anak ikan, bisa menyatukan diri).
Banyak kearifan lokal di masyarakat seluruh daerah
Indonesia yang bisa dijadikan benteng kultural di masyarakat. Nilai-nilai yang
terbukti masih sangat relevan untuk dikembangkan untuk menghadapi beragam tantangan
moderinitas yang ada saat ini, termasuk menagkal teroris. Dimuat dalam Koran Republika (Dr. TGH. M.
Zainul Majdi, MA, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Wathan NTB)