KM.Mellbao: Bila kita membuka membuka lembaran
sejarah Islam klasik, kita seakan bernostalgia dengan pencapaian luar biasa
segolongan ummat yang bernama kaum Muslimin. Sebuah peradaban unggul dan
cemerlang.
Ungggul dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi, ghirah
keagamaan yang kuat, dan luasnya wilayah kekuasaan yang hampir menguasai
separuh dunia. Namun kini apa yang tersisa dari itu semua? Yang tersisa bukan
megahnya gedung, melimpahnya emas dan perak, atau indahnya arsitektur bangunan.Tentara-tentara
meninggal dan negara-negara hancur, tinggallah kitab-kitab ulama meriwayatkan
kemuliaan sepanjang masa.
Itulah warisan mulia meskipun tidak seluruhnya
berhasil diselamatkan akibat keganasan tentara Salib dan bangsa Tar-tar.
Dalam sebuah tausyiahnya di Ponpes
al-Hananiyah NW, Panji Sari Praya pekan lalu, Gubernur NTB, yang akrab disapa
Tuan Guru Bajang, mengungkapkan bahwa mengapa hanya ilmu yang tersisa dari
peradaban Islam itu. Jawaban atas pertanyaan tersebut disimpulkannya dalam dua
istilah, at-tawrits
dan at-tadwin.
Pertama, istilah
at-tawris maksudnya bahwa ilmunya
para ulama itu diwariskan kepada murid-muridnya secara turun temurun. Ilmu itu
diperoleh melalui beberapa metode, yang dalam istilah ilmu hadits disebut turuq at-tahammul hadits yang berjumlah
delapan. Baik itu melalui as-sama’ (mendengar lafadh syaikh), al-qira’ah (membaca kepada syaikh) al-ijazah (mengijazahkan
ilmu), al-munawalah (menyerahkan karyanya
untuk ditelaah), al-kitabah
(menulis
atau menyalin keterangan syaikh), al-I’lam
(menginformasikan
kepada murid), al-washiyyah (mewasiatkan),
dan al-wijadah (menemukan kitab ulama).
Ulama-ulama besar itu banyak memiliki
murid-murid yang berkualitas sehingga mampu menyambung estafet keilmuan
gurunya. TGB, menyebutkan bahwa ulama pendiri 4 mazhab fiqih yaitu Imam Abu
Hanifah, Imam Malik
bin Anas, Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal
merupakan model keberhasilan at-tawris. Mereka berhasil mewariskan ilmu yang
sangat berharga, kemudian ilmu itu
ditransper terus-menerus kepada generasi berikutnya oleh murid-muridnya.
Demikianlah seharusnya dalam pendidikan
kita. Ilmu itu adalah warisan. Bila kita mengajarkan ilmu, seolah-olah kita
membagi warisan kepada peserta didik kita. Bahkan kedudukan warisan ilmu itu lebih
berharga dari pada harta. Sebab, ilmu itu warisan para Nabi. Para Nabi tidak
mewariskan harta. Oleh karena itu para guru harus profesional dan proporsional
membagi warisan. Selanjutrnya para murid
pun harus siap sedia, bersemangat, ikhlas hati menerima warisan tersebut.
Kedua, istilah at-tadwin maksudnya bahwa ilmu yang telah diwariskan tersebut tidak
hanya direkam oleh ingatan namun dilestarikan dalam bentuk tulisan. Maka
jadilah ia kitab. Keunggulan ummat Islam masa lampau dalam bidang tulis-menulis
diakui oleh semua pihak. Para ulama tidak hanya berhasil mencetak murid yang
berkualitas, namun mereka pandai menguraikan ide dan gagasannya melalui
tulisan. Selanjutnya para muridnya melakukan hal yang dilakukan oleeh gurunya. Doktor Tafsir lulusan Al-Azhar Mesir ini
kembali menyebut 4 Imam pendiri mazhab, mengapa hanya mazhab mereka yang
tersebar hingga hari ini. Itu karena murid-murid mereka kreatif dan produktif
meneruskan “ijtihad cemerlang” para maha gurunya. Dan tidak jarang kapabelitas
keilmuan seorang guru dan murid setara bahkan ada yang lebih hebat muridnya.
Hal ini bukan bukan bumerang. Sebab, seorang guru yang hebat adalah bila mana
ia mampu mencetak murid yang melebihi kualitas dirinya.
Seiring dengan perkembangan luar biasa
pada ilmu pengetahuan, agama, dan, umum, serta munculnya industri pembuatan
kertas, mendorong lahirnya para ilmuan, dan ulama yang mengabadikan
pemikirannya dalam bentuk mengoleksi dan mengumpulkan buku dan manuskrip.
Keadaan ini didorong juga dengan adanya apresiasi yang tinggi kepada para
penulis buku. Seberapa berat karya mereka, seberat itulah hadiah yang diberikan
khalifah atau sultan berupa emas. Buku atau manuskrip yang dikoleksi itu berisi
berbagai gagasan, konsep, dan teori sesuatu yang sangat penting. Dengan demikian,
mendorong setiap masyarakat terpelajar untuk mengoleksi buku dan manuskrip
tersebut, serta menghimpunnnya dalam sebuah perpustakaan.
Untuk memberi
resposisi terhadap tantangan zaman itu secara kreatif dan bermanfaat, kita
dituntut dalam istilah Nurkholis Majid, kita wajib memiliki kekayaan dan
kesuburan intelektual. Kekayaan dan kesuburan intelektual inilah yang disebut
sebagai “suatu tradisi intelektual, karena ia tidak terwujud seketika setelah
dimulai penggarapannya, melainkan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang
panjang.
Peradaban Islam juga telah menghasilkan
berbagai buku yang sangat banyak dalam berbagai bidang keilmuan, baik sastra
maupun seni. Hampir tidak adapun cabang ilmu pengetahuan kecuali ada yang
menuliskannya dalam bidang tersebut. Di antara karya-karya tersebut ada yang
ditulis dalam buku-buku kecil, menengah, dan ada pula yang sangat besar seperti
sebuah ensiklopedi.
Para sejarawan Muslim dan Barat
menyebutkan dalam dunia Islam, terdapat ribuan bahkan puluhan ribu perpustakaan
yang menyimpan buku, baik di Baghdad, Damaskus, Kairo, Yaman, maroko,
Andalusia, Nisafur, Khurasan, dan Samarkhand. Ini menunjukkan bahwa Ummat Islam
adalah ummat yang mencintai ilmu. Posisi kitab dan karya ulama menempati posisi
yang penting di samping urusan politik dan pemerintahan. Bahkan kedudukan ulama
lebih tinggi derajatnya dibanding umara’ atau penguasa.
Gubernur termuda di Indonesia dari
kalangan santri ini mengutip ungkapan ulama bahwa ingatan yang panjang itu akan
kalah oleh tulisan pensil yang kecil runcing. Ingatan itu akan pudar dengan
bertambahnya usia dan banyaknya kesibukan. Namun tulisan atau karya itu abadi
meskipun penulisnya telah tiada.
Cucu pendiri organisasi Nahdlatul Wathan,
TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid ini menceritakan bahwa di antara ulama itu ada
yang mencurahkan umurnya hanya untuk mengoleksi manuskrip, menyalin,
menerjemahkan, menulis, meneliti, mentahqiq, menyebarkan ilmu pengetahuan.
Mereka menganggap bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah ibadah, bahkan jihad
di jalan Allah SWT. Mereka adalah para pecinta ilmu pengetahuan, pengabdi ilmu
penegtahuan, sebagaimana kini dijalani dan coba dilanjutkan oleh para penulis
dan pemikir dari aktifis Islam, para ulama, dosen, ustadz, dan pengajar.
Bagi penulis menarik apa yang ditulis
oleh Aidh al-Qarni. Beliau mengatakan, “Barangsiapa
ingin mengetahui tingginya kedudukan para ulama dari para khalifah, maka
bandingkan di antara ulama-ulama dan khalifah-khalifah yang semasa: di
antaranya as-Sya’bi dan Abdul Malik, az-Zuhri dan Hisyam bin Abdul Malik, Abi Hanifah dan al-Mansur,
Malik dan ar-Rasyid, Ahmad bin Hanbal dan Al-Mu’tashim, as-Syafi’i dan
al-Makmun.” Siapakah yang lebih lestari nama dan ilmunya hingga hari ini? Tentu
para ulama itu. Nama mereka harum mewangi, meskipun jasad mereka telah terkubur
ratusan bahkan seribu tahun lalu.
Di akhir tausyiahnya TGB memotivasi para
orang tua dan pendidik agar mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya dan
jangan lupa iringi mereka dengan doa. Kepada anak-anak mereka diajak untuk
meningkatkan kualitas dengan rajin belajar, berprestasi, dan jangan malu
menjadi anak pesantren. Pelajar juga jangan lupa pada “sembek” (bahsa Lombok: resep)
yang paling mujarab, yaitu doa orang tua.
H. Habib Ziadi (Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin NW Mispalah Praya Loteng).