KM.Mellbao: Beberapa waktu lalu,
saya membaca pernyataan Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GMPT)
Desianto Budi Utomo bahwa impor komoditas jagung 2013, khusus untuk industri
pakan ternak, diperkirakan melonjak 86,6 persen dari volume impor tahun lalu.
Impor akan meningkat 1,3 juta ton menjadi 2,8 juta ton pada 2013 dibanding 1,5
juta ton pada 2012.
Lonjakan volume impor
jagung itu, kata Desianto, terjadi karena kebutuhan pakan ternak dalam negeri
yang semakin besar tidak diikuti dengan ketersediaan produk jagung lokal (suplai). Dengan kata lain, ada
kesenjangan luar biasa antara kebutuhan jagung dalam negeri (demand) dan
suplai produksi jagung lokal.
Desianto memaparkan,
2013 ini produksi pakan ternak diperkirakan mencapai 13,8 juta ton. Untuk bisa
memproduksi pakan ternak sebanyak itu, 65 unit pabrik pakan ternak yang ada
membutuhkan bahan baku jagung sekitar tujuh juta ton. GMPT lantas mengasumsikan
suplai jagung lokal tahun ini hanya 4,2 juta ton sehingga dibutuhkan tambahan
suplai jagung impor sebanyak 2,8 juta ton. Skenario impor jagung versi GMPT ini
berbeda dengan versi data yang ada di Kementerian Pertanian.
Berdasarkan data Ditjen
Tanaman Pangan Kementan, produksi jagung Indonesia tahun 2013 diprediksi bisa
mencapai 18,9 juta ton dengan kebutuhan hanya 17,3 juta ton. Artinya, malah ada
surplus komoditas jagung sebanyak 1,6 juta ton.
Data Kementan memang
selalu optimistis, namun sekaligus juga membingungkan. Berdasarkan data
Kementan, produksi jagung nasional pada 2012 mencapai 18,961 juta ton dengan
jumlah kebutuhan nasional hanya mencapai 14,410 juta ton. Itu artinya, masih
ada surplus. Pertanyaannya kemudian, mengapa untuk komoditas yang surplus
semacam ini masih dibutuhkan impor jagung?.
Meski diklaim mengalami
penurunan dari 2011 di mana impor jagung mencapai 3,144 juta ton, pada 2012
Indonesia masih membuka keran impor jagung sebanyak 1,5 juta ton. Masalah
distribusi dinilai menjadi salah satu jawaban atas masih terjadinya impor
jagung di tengah surplus produksi.
Masih terdapat kendala transportasi untuk mendistribusikan produk jagung.
Kendala lainnya adalah
soal mutu jagung lokal yang dinilai belum sesuai dengan standar industri pakan
nasional. Misalnya, terkait dengan kadar air dan jamur dalam produksi jagung lokal.
Kondisi-kondisi semacam
itu membuka mata bahwa skenario impor jagung tidak semata tertumpu pada
peningkatan lahan serta produksi jagung semata sebagaimana menjadi titik fokus
Kementan selama ini. Menjadi tampak bahwa persoalan-persoalan pascapanen jagung
juga menjadi sangat krusial sebagai penentu serapan jagung lokal.
Skenario Optimistis
Meski begitu, tidak
berarti strategi yang telah dijalankan selama ini ditinggalkan. Upaya
pemerintah mengembangkan komoditas jagung dengan cara peningkatan produktivitas
dan perluasan areal tanam harus tetap dilakukan sembari membenahi juga
permasalahan-permasalahan yang muncul pascapanen.
Tanpa harus terjebak
pada optimisme berlebih, Indonesia masih sangat potensial menjadi pemain utama
penghasil komoditas jagung di tingkat global.Merujuk pernyataan Ketua
Dewan Jagung Nasional Fadel Muhammad, Indonesia memiliki paling tidak 22 titik
sentra produksi jagung, seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Untuk Provinsi NTB sendiri,
perkembangan komoditas jagung ini sangat menggembirakan setelah ditetapkannya
jagung sebagai salah satu komoditas unggulan NTB selain sapi dan rumput laut.
Dari sisi kuantitas, produksi jagung meningkat pesat dari hanya 196.263 ton pada
2008 menjadi sebesar 641.489 ton pada 2012.
Kenaikan produksi
jagung, baik di Jatim maupun NTB, terjadi karena kenaikan luas lahan panen. Di
Jatim, luas lahan panen jagung meningkat 28,46 ribu hektare. Sedangkan, di NTB
terjadi kenaikan seluas 27,74 ribu hektare dari luas lahan panen 89.307 hektare
pada 2011 menjadi 117,50 hektare pada 2012. Dengan fakta-fakta seperti itu,
mimpi menjadi salah satu pemain di dunia dalam komoditas strategis seperti
jagung sebenarnya bukanlah impian.
Masalahnya, problematika komoditas jagung, seperti telah disinggung di atas,
tidak berhenti sebatas peningkatan kuantitas produksi dan lahan panen.Belajar dari
pengembangan komoditas jagung di NTB, paling tidak ada lima masalah yang harus
dipikirkan solusi nya. Dari lima permasalahan itu, dua permasalahan terjadi
sebelum panen, yaitu masalah penanganan teknologi budidaya jagung yang belum
optimal serta permodalan petani yang masih lemah. Untuk optimalisasi teknologi
budidaya, yang dilakukan adalah pendampingan dan penyuluhan terus-menerus.
Sedangkan, terkait modal, kami memfasilitasi petani memperoleh skimpembiayaan.
Tiga masalah lainnya
terjadi pascapanen, yaitu harga jagung yang belum stabil, dukungan alat pemipil
dan pengering yang masih kurang, serta belum berkembangnya produk olahan
jagung. Terkait harga jagung, di NTB sudah dicoba dilakukan upaya koordinasi
dengan sejumlah mitra kerja, seperti pasar dan sejumlah perusahaan. Untuk
dukungan alat pemipil dan pengering, kami sudah mencoba memberikan bantuan corn seller melalui dana APBN dan
APBD meski karena keterbatasan dana, jumlah unitnya hanya 14 pada 2011 dan 27
pada 2012. Mesin pengering (dryer) yang mampu mengurangi kadar air
hingga 14 persen sesuai standar industri pakan ternak, juga masih menjadi
masalah tersendiri karena harganya yang relatif mahal.
Mengenai belum
berkembangnya produk olahan jagung, yang kami upayakan adalah melakukan
koordinasi dengan pihak terkait, seperti Kementerian Perdagangan serta
Kementerian Koperasi dan UKM. Kami juga belajar dari daerah lain yang dinilai
maju dalam produk olahan.Masalah anomali impor
jagung ini sebenarnya bisa diatasi jika pemerintah tidak selalu fokus pada
pengucuran skim kredit untuk keperluan budidaya, namun juga untuk mengatasi
masalah-masalah pascapanen dan penanggulangan dana pembelian ke petani. Saya optimistis,
produk jagung lokal lebih baik dari jagung impor karena lebih segar.
Penulis: TGB. Dr. M. Zainul Majdi, MA.