KM.Mellbao: Berperan sebagai
pelanggan tercatat 4 kali menyambangi rumah makan berarsitektur bambu dengan
warna cat coklat yang mendominasi. Yang tepatnya berada disisi kiri jalan
pemuda dari arah airlangga itu. Entah alasan kenapa, jujur saya tidak punya
banyak argumentasi. Yang pasti rasa yaman saya temukan disitu.
Konsep rumah makan yang
ilegan dengan setandar sederhana menggairahkan kalangan muda, mahasiswa dan
masyarakat umum untuk terus bertandang hanya menyempatkan diri duduk diruangan
ukuran 5 x 6 meter tersebut yang ditata rapi dengan meja kursi memanjang rata
berwarna coklat lengkap dengan nomor meja yang sudah ditentukan. Maka tidak
heran pengunjungnya selalu ramai mulai dari yang membawa keluarganya, pacarnya
atau pun hanya kongko-kongko sama temannya.
Kunjungan ke 4 ini bukan
saya sendiri, kawan penulis muda yang cukup banyak menyoroti dinamika sosial
NTB ke kinian sengaja saya geret untuk sedikit memancing suara sumbang
mengomentari rumah makan yang unik dibenak saya bila dibandingkan dengan
rumah-rumah makan yang ada dikota mataram ini dengan konsep interior yang
gelamor dan mewah. Pemuda itu, “Turmuji Muhammad” namanya.
Rumah makan yang di
dalamnya tepat bagian pojok atas tengah sebelah kiri terpampang poto tokoh yang
tidak asing di NTB ini, Maulana Syeh yang dipigurkan kalangan ormas NW terbesar
di daerah ini. Tatapan sejuk dari balik bingkai poto itu amat terasa
menggelembung disuasana makan malam senin (8/10) tersebut.
Senyum simpu ramah
pelayannya dengan balutan baju warna ungu yang dipadukan dengan celana panjang
warna hitam membuat pengunjung bak raja dijaman majapahit dulu. Ia ramah
menanyakan pesan makanan apa………ke setiap pengunjung. Kami pun kebagian jatah
sapa manisnya. lalu kami gemuruh seru menyebut pesanan kami “nasi goreng biasa
dan nasi goreng belut”. Namun ia tetap santun menyapa dengan kembali menanyakan
minum yang kami inginkan. Dan kami sepakat hanya minum air teh dingin.
Selang beberapa menit,
air teh tersuguh dimeja nomor 8 yang kami pilih. Tidak lama pula berselang
pesanan kami pun muncul, ya kalau di itung-itung kisaran nunggunya hanya
menghabiskan 10 menit aja. Diwaktu yang sempit saat pelayan menyuguhkan menu,
kami gesit menanyakan seputar rumah makan tesebut. Mulai dari kejenakaan kami
merayu dengan tanya namanya. Lalu santun ia menyebut Mita, sementara Turmuji
semakin gencar memburunya dengan tanya politis mbak anak NW ya?. Ya,
akunya.
Beruntun saya coba
menggeretnya untuk menyebutkan siapa pemilik rumah makan ini, “L.Gede Sakti”
ungkapnya ramah. Sementara kami hanya berdecak kagum, pantas desainnya nuansa
islami dengan senyum manis kaku sang Maulana dari seketsa poto ukuran jumbo
tersebut. Karena L.Gede Sakti merupakan keturunan dari sang tokoh legedaris
tersebut yang kesohor di bumi sasak ini.
Dari cerita mbak mita, rumah
makan ini sudah memperkerjakan 8 orangan yang cukup telaten dibidangnya. Dengan
kisaran gaji setandar UMR untuk ukuran kota mataram 700.000 sampai jutaan
dengan tunjangan-tunjangan yang ada.
Santap lahap menu nasi
goreng yang menghangat memaksa kami untuk mengakui bahwa cita rasa makana has
nasi goreng tersebut cukup enak, teruji sampai kawan Turmuji hanya menyisakan
sendok, garpu sama piring. Meski saya juga masih ada sedikit mentimun dan
sayuran yang melebihi. Tapi rasa makan yang sangat lejat. Berbicara harga, dari
daftar menu yang kami baca kisaran paling mahal hanya jatuh 15.000 dengan
komposisi lalapan yang cukup menggugah, opor ayam, sayur mayur yang
segar.
Sementara menu yang amat
menjangkau berbagai kalangan 5.000 untuk jenis nasi yang dipadukan ikan,
sambal, sayur dengan porsi yang dapat mengenyangkan. Dan rata-rata menu
disekalakan dengan kisaran harga 10.000, seperti nasi goreng sepesial. Semuanya
terjangkau untuk ukuran dompet mahasiswa dan anak muda yang ada di kota mataram
ini.
Setelah
makan, tidak ada rasa sungkan yang kemudian memaksa kami untuk hengkang setelah
melahap makan kami. Namun, rasa nyaman mengulur waktu berlama-lama untuk
sekedar ngobrol lepas dengan lawan bicara cukup membuat kami tenang untuk
membicarakan hal yang layak kami bicarakan. Mereka (pelayan-pelayan) tersebut
tetap tersenyum ramah dengan mimik yang tidak menunjukkan kejengkelan akan
sikap pengunjung seperti kami berlama-lama.(JA)